Tidak kunjung kelarnya persoalan tanah adat beberapa tahun belakangan
ini menyisakan kepiluan mendalam bagi para anggota dan pemangku adat.
Pasalnya, berbagai bentuk protes yang mereka layangkan kepada pemerintah
maupun pihak lain – yang dianggap merampas hak ulayat mereka – tidak
jarang berbuntut pada makin runyamnya permasalahan, terkadang bentrok
yang memakan korban jiwapun tak bisa dihindari.
Publik juga bertanya-tanya progresivitas wakil rakyat di legislatif
pasca menerima aduan warga. Januari kemaren, sejumlah tetua adat Megou
Pak Tulang Bawang mendatangi Komisi IV DPR untuk mencari keadilan atas
tanah mereka dalam kasus Mesuji. Jauh sebelum itu, hal yang sama
dilakukan juga oleh perwakilan warga Ogan Komering Ulu (OKU) Timur.
Mereka datang ke Jakarta untuk mempertanyakan alasan pembuldozeran tanah
ulayat seluas 4500 ha oleh PT Barito Musi Hutan Persada dan PT Hanson
Energy.
Di Sumsel, koalisi rakyat-aktivisis menolak krimininalisasi aparatus
negara terhadap petani yang berjuang merebut kembali hak-hak ulayatnya.
Paralel dengan perjuangan sekelompok akademisi lintas kampus yang
baru-baru ini membuat petisi ke Presiden SBY agar konflik agraria bisa
segera terselesaikan. Pada kesempatan itu, terbentuk Forum Indonesia
untuk Keadilan Agraria (FIKA) yang dimotori oleh para akademisi,
peneliti dan pemerhati studi agraria.
Keberpihakan serius kelompok aktivis dan akademisi yang concern
terhadap persoalan agraria merupakan modal berharga perjuangan hak-hak
ulayat, vis a vis dengan pihak pemerintah yang kerap menggunakan
dialektika hukum dan pendekatan ‘keamanan’ dalam penyelesaian konflik.
Di sisi lain, pihak perusahaan cenderung melanggengkan kepentingannya
dengan terus-menerus mengkapitalisir berbagai hal, termasuk kemungkinan
mensponsori lahirnya aksen-aksen pseudo kultural, layaknya produk
kebudayaan masyarakat setempat.
Hal ini tergambar dari testimoni Wanmauli Sanggem, warga Lampung yang
ikut mendampingi ke gedung DPR di Jakarta. Sesepuh Tulang Bawang yang
juga Ketua Lembaga Adat Megou Pak ini mengaku pernah dikriminalisasi
dengan dakwaan penipuan. Tidak hanya selesai disitu, ia merasa kesal
terhadap Pemerintah Lampung yang mem-fetakompli masyarakat adat dengan
cara membuat organisasi adat Megou Pak ‘baru’ pada 5 Februari 2012.
Keterangan dari sesepuh lain juga memperkuat bahwa organisasi adat yang
di pimpin oleh Wanmaulli merupakan organisasi adat yang sah dan
merupakan kepanjangan dari luluhur mereka yang hidup seabad yang lalu.
Mereka pun siap menunjukkan data dan bukti- buktinya.
Melihat realitas semacam itu, seolah-olah sinergi yang telah terbangun
antara hukum adat dengan hukum positif (UUPA) hanya menjadi ornamen
akademis belaka. Ketika konflik tanah terjadi, cenderung ‘persaudaraan’
dua undang-undang tersebut tidak didudukkan sebagai pendulum utama
pencegahan konflik. Maka muncul kesan bahwa sinergisitas tersebut tidak
lebih dari sekedar konsensus teks, bukan konsensus taste – artinya
kesepakatan yang terbangun belum mencerminkan kearifan cara pandang,
perasaan saling memahami “rasa”, tetap praksisnya lebih pada kesepakatan
untuk saling memaksa.
Pemahaman ‘rasa’ menuntut pendalaman batin yang serius. Bahwa
masyarakat adat dan tanahnya tidak hanya berdimensi komunalistik, tetapi
memiliki relasi batiniah yang sulit diregulasi melalui aturan-aturan
formal dan administratif. Selain itu, yang tidak boleh luput dipelajari
adalah menyangkut disiplin mereka dalam menjalankan ‘birokrasi’ adatnya.
Antara pemimpin adat dengan warga adat memiliki peran berbeda.
Pihak-pihak diluar keanggotaan masyarakat adat harus mampu
menterjemahkan berbagai peran-peran adat tersebut, termasuk dalam
penggarapan tanah ulayat. Bentuk investasi pihak luar berupa uang atau
iming-iming apapun hanyalah sebagai perlambang bahwa mereka bukan bagian
dari warga adat. Pada titik inilah, nilai-nilai komunalisme melebihi
segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar