Jumat, 27 September 2013

Ulayat, Pemerintah dan "Birokrasi" Kebudayaan

 


 Tidak kunjung kelarnya persoalan tanah adat beberapa tahun belakangan ini menyisakan kepiluan mendalam bagi para anggota dan pemangku adat. Pasalnya, berbagai bentuk protes yang mereka layangkan kepada pemerintah maupun pihak lain – yang dianggap merampas hak ulayat mereka – tidak jarang berbuntut pada makin runyamnya permasalahan, terkadang bentrok yang memakan korban jiwapun tak bisa dihindari. 
 
Publik juga bertanya-tanya progresivitas wakil rakyat di legislatif pasca menerima aduan warga. Januari kemaren, sejumlah tetua adat Megou Pak Tulang Bawang mendatangi Komisi IV DPR untuk mencari keadilan atas tanah mereka dalam kasus Mesuji. Jauh sebelum itu, hal yang sama dilakukan juga oleh perwakilan warga Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. Mereka datang ke Jakarta untuk mempertanyakan alasan pembuldozeran tanah ulayat seluas 4500 ha oleh PT Barito Musi Hutan Persada dan PT Hanson Energy.
 
Di Sumsel, koalisi rakyat-aktivisis menolak krimininalisasi aparatus negara terhadap petani yang berjuang merebut kembali hak-hak ulayatnya. Paralel dengan perjuangan sekelompok akademisi lintas kampus yang baru-baru ini membuat petisi ke Presiden SBY agar konflik agraria bisa segera terselesaikan. Pada kesempatan itu, terbentuk Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria (FIKA) yang dimotori oleh para akademisi, peneliti dan pemerhati studi agraria. 
 
Keberpihakan serius kelompok aktivis dan akademisi yang concern terhadap persoalan agraria merupakan modal berharga perjuangan hak-hak ulayat, vis a vis dengan pihak pemerintah yang kerap menggunakan dialektika hukum dan pendekatan ‘keamanan’ dalam penyelesaian konflik. Di sisi lain, pihak perusahaan cenderung melanggengkan kepentingannya dengan terus-menerus mengkapitalisir berbagai hal, termasuk kemungkinan mensponsori lahirnya aksen-aksen pseudo kultural, layaknya produk kebudayaan masyarakat setempat.
 
Hal ini tergambar dari testimoni Wanmauli Sanggem, warga Lampung yang ikut mendampingi ke gedung DPR di Jakarta. Sesepuh Tulang Bawang yang juga Ketua Lembaga Adat Megou Pak ini mengaku pernah dikriminalisasi dengan dakwaan penipuan. Tidak hanya selesai disitu, ia merasa kesal terhadap Pemerintah Lampung yang mem-fetakompli masyarakat adat dengan cara membuat organisasi adat Megou Pak ‘baru’ pada 5 Februari 2012. Keterangan dari sesepuh lain juga memperkuat bahwa organisasi adat yang di pimpin oleh Wanmaulli merupakan organisasi adat yang sah dan merupakan kepanjangan dari luluhur mereka yang hidup seabad yang lalu. Mereka pun siap menunjukkan data dan bukti- buktinya. 
 
Melihat realitas semacam itu, seolah-olah sinergi yang telah terbangun antara hukum adat dengan hukum positif (UUPA) hanya menjadi ornamen akademis belaka. Ketika konflik tanah terjadi, cenderung ‘persaudaraan’ dua undang-undang tersebut tidak didudukkan sebagai pendulum utama pencegahan konflik. Maka muncul kesan bahwa sinergisitas tersebut tidak lebih dari sekedar konsensus teks, bukan konsensus taste – artinya kesepakatan yang terbangun belum mencerminkan kearifan cara pandang, perasaan saling memahami “rasa”, tetap praksisnya lebih pada kesepakatan untuk saling memaksa.
 
Pemahaman ‘rasa’ menuntut pendalaman batin yang serius. Bahwa masyarakat adat dan tanahnya tidak hanya berdimensi komunalistik, tetapi memiliki relasi batiniah yang sulit diregulasi melalui aturan-aturan formal dan administratif. Selain itu, yang tidak boleh luput dipelajari adalah menyangkut disiplin mereka dalam menjalankan ‘birokrasi’ adatnya. Antara pemimpin adat dengan warga adat memiliki peran berbeda. Pihak-pihak diluar keanggotaan masyarakat adat harus mampu menterjemahkan berbagai peran-peran adat tersebut, termasuk dalam penggarapan tanah ulayat. Bentuk investasi pihak luar berupa uang atau iming-iming apapun hanyalah sebagai perlambang bahwa mereka bukan bagian dari warga adat. Pada titik inilah, nilai-nilai komunalisme melebihi segalanya. 

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar