Senin, 30 September 2013

MENG-APRESIASI BUKU ETNOGRAFI MARGA MESUJI



Lembaga Adat Megou Pak Tulangbawang menyambut baik,buku ETNOGRAFI MARGA MESUJI  sebagai suatu kajian adat Istiadat Marga Mesuji di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung  hasil kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Lampung dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Mesuji. Kami sangat kagum kepada saudara-saudara kami dari Marga Mesuji terutama Kakanda kami THABRANI ISMAIL dan nakenda kami Drs.H.HAIRI SINUNGAN serta Nara Sumber lain yang telah memberikan data yang valid tentang asal mula Marga Mesuji Lampung. Kiranya hasil penelitian ini dapat menjadi tolok ukur semua pihak yang belum memahami culture masyarakat lampung terutama hubungan yang terjalin antara Masyarakat Adat Mesuji Lampung dengan Masyarakat Hukum Adat Megou Pak Tulang Bawang ( Sway Umpu )  sehingga terjalin hubungan kekerabatan yang mengikat.
Buku tersebut  mendapat sambutan baik dari Bupati Mesuji untuk lebih mengenal karakteristik  budaya Kabupaten Mesuji agar warga Mesuji dapat mengahargai,memelihara dan menumbuh kembangan kebudayaan daerah, termasuk nilai-nilai sejarah dari daerah itu sendiri. Mudah-mudahan sambutan beliau bukan hanya basa-basi untuk menarik simpati masyarakat Mesuji, Namun lebih kepada komitmen politik untuk menghargai dan memberikan pengakuan untuk menempatkan hak-hak masyarakat hukum adat  yang dalam kenyataan dibeberapa daerah Provinsi Lampung khususnya dan di Negera Indonesia umumnya terislorir dan terpinggirkan.
Dari tinjauan etnis dan masyarakat hukum adat Kabupaten Mesuji  terdiiri dari 2 (dua ) etnis yaitu  ; Etnis Sumatera Selatan yang  bermukim diwilayah perairan Sungai Mesuji dan Etnis Lampung ( sway Umpu Megou Pak Tulang Bawang ) bermukim di wilayah daratan,bahkan ditegaskan kembali oleh Drs.Hairi Sinungan bahwa Marga Mesuji itu adalah juga Marga Sway Umpu akibat angkonan ( mewarian ) antara Pengeran Muhamad Ali yang berkedudukan sebagai Kerio/Pimpinan Dusun/Kepala Kampung dengan Kepala Marga Pagar Alam Marga Sway Umpu. Mewarian atau angkonan merupakan salah satu tradisi pengakuan secara adat bahwa keberadaan masyarakat adat Marga Mesuji tersebut menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dengan Marga Sway Umpu. Buku ETNOGRAFI MARGA MESUJI ini menjadi salah satu bukti bahwa ;

“Masyarakat Adat Megou Pak Tulang Bawang memilik wilayah etnis  ( Sway Umpu ) di Talang Batu / Labuhan Batin dan mempunyai hubungan kebatinan yang sangat erat hingga terbentuknya Marga Mesuji ”

Pernyataan-pernyataan bagi sementara orang baik para tokoh adat yang mengatasnamakan penyimbang adat atau para pejabat daerah yang mengatakan bahwa Megou Pak Tulangbawang tidak memiliki wilayah etnis dan hubungan dengan Marga Mesuji, bahkan ada keinginan untuk meniadakan keberadaan Megou Pak Tulangbawang di Mesuji, sesungguhnya hal ini telah melukai perasaan dan hati nurani masyarakat hukum adat Megou Pak Tulangbawang yang memiliki kearifan yang terbuka kepada siapapun untuk bersama-sama hidup berdampingan serta tidak merasa lebih tinggi satu sama lainnya.

Regester 45 Mesuji.

Sementara Konstitusi mengamanatkan keberadaan nilai-nilai tradisonal harus terpelihara bukan saja hanya sekedar pengakuan tetapi juga bagaimana perananya dan hak-haknya sebagai bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena nilai-nilai itu hidup didalam masyarakat, sayangnya produk hukum selanjutnya tidak berpihak kepada rakyat, menapikan tatanan itu dan men-genaralisir kebhinikaan itu dalam keseragaman sebagai alasan alat kekuasaan untuk melakukan pembenaran. ( Pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang dapat meng-aransir kebhinikaan itu dalam keharmonisan ).
Kemelut sengketa lahan Regester 45 sungai buaya Mesuji yang berlarut-larut merupakan  salah satu contoh kasus, untuk tidak mengakui keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana yang diamanatkan oleh Konstitusi. Keberadaan Lembaga Adat Megou Pak Tulang Bawang ( Tulang Bawang adalah wilayah hukum adat dalam literature ) yang meliputi Marga Tegamo’an,Marga Buai Bolan (ilir dan udik ),Marga Sway Umpu ( Sway umpu Megou Pak / Marga Mesuji ) dan Marga Aji, disengketa lahan tersebut didiskriditkan dengan segala opini dan diserang dari segala arah.merupakan bukti bahwa penghargaan terhadap masyarakat Hukum Adat hanya lipstick dan perlu diperjuangkan agar mendapat tempat yang layak dibuminya sendiri. Fakta yang ada bahwa hak-hak Masyarakat Hukum Adat sangat memperihatinkan dan termarginal. berapa banyak kampung-kampung tua dibiarkan begitu saja dengan alasan yang tidak masuk akal bahkan terisolir dari pembangunan,berapa luas tanah yang telah disumbangkan kepada Negara ini, sementara hak-haknya  terabaikan dan terpinggirkan.
 Apakah Masyarakat Hukum Adat akan menjadi masyarakat yang terpencil dan terkucil dibuminya sendiiri ????.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar