Lembaga Adat Megou Pak Tulangbawang menyambut baik,buku ETNOGRAFI
MARGA MESUJI sebagai suatu kajian adat
Istiadat Marga Mesuji di Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung hasil kerjasama Lembaga Penelitian Universitas
Lampung dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Mesuji. Kami sangat
kagum kepada saudara-saudara kami dari Marga Mesuji terutama Kakanda kami
THABRANI ISMAIL dan nakenda kami Drs.H.HAIRI SINUNGAN serta Nara Sumber lain
yang telah memberikan data yang valid tentang asal mula Marga Mesuji Lampung.
Kiranya hasil penelitian ini dapat menjadi tolok ukur semua pihak yang belum
memahami culture masyarakat lampung terutama hubungan yang terjalin antara
Masyarakat Adat Mesuji Lampung dengan Masyarakat Hukum Adat Megou Pak Tulang
Bawang ( Sway Umpu ) sehingga terjalin
hubungan kekerabatan yang mengikat.
Buku tersebut mendapat sambutan baik dari Bupati Mesuji
untuk lebih mengenal karakteristik budaya Kabupaten Mesuji agar warga Mesuji
dapat mengahargai,memelihara dan menumbuh kembangan kebudayaan daerah, termasuk
nilai-nilai sejarah dari daerah itu sendiri. Mudah-mudahan sambutan beliau
bukan hanya basa-basi untuk menarik simpati masyarakat Mesuji, Namun lebih
kepada komitmen politik untuk menghargai dan memberikan pengakuan untuk
menempatkan hak-hak masyarakat hukum adat yang dalam kenyataan dibeberapa daerah
Provinsi Lampung khususnya dan di Negera Indonesia umumnya terislorir dan
terpinggirkan.
Dari tinjauan etnis dan masyarakat hukum adat
Kabupaten Mesuji terdiiri dari 2 (dua )
etnis yaitu ; Etnis Sumatera Selatan
yang bermukim diwilayah perairan Sungai
Mesuji dan Etnis Lampung ( sway Umpu Megou Pak Tulang Bawang ) bermukim di
wilayah daratan,bahkan ditegaskan kembali oleh Drs.Hairi Sinungan bahwa Marga
Mesuji itu adalah juga Marga Sway Umpu akibat angkonan ( mewarian ) antara
Pengeran Muhamad Ali yang berkedudukan sebagai Kerio/Pimpinan Dusun/Kepala
Kampung dengan Kepala Marga Pagar Alam Marga Sway Umpu. Mewarian atau angkonan merupakan
salah satu tradisi pengakuan secara adat bahwa keberadaan masyarakat adat Marga
Mesuji tersebut menjadi bagian yang tak dapat terpisahkan dengan Marga Sway
Umpu. Buku ETNOGRAFI
MARGA MESUJI ini menjadi salah satu bukti bahwa ;
“Masyarakat Adat Megou Pak Tulang
Bawang memilik wilayah etnis ( Sway Umpu
) di Talang Batu / Labuhan Batin dan mempunyai hubungan kebatinan yang sangat erat
hingga terbentuknya Marga Mesuji ”
Pernyataan-pernyataan bagi sementara orang baik para tokoh adat yang mengatasnamakan
penyimbang adat atau para pejabat daerah yang mengatakan bahwa Megou Pak
Tulangbawang tidak memiliki wilayah etnis dan hubungan dengan Marga Mesuji,
bahkan ada keinginan untuk meniadakan keberadaan Megou Pak Tulangbawang di
Mesuji, sesungguhnya hal ini telah melukai perasaan dan hati nurani masyarakat
hukum adat Megou Pak Tulangbawang yang memiliki kearifan yang terbuka kepada
siapapun untuk bersama-sama hidup berdampingan serta tidak merasa lebih tinggi
satu sama lainnya.
Regester 45
Mesuji.
Sementara Konstitusi mengamanatkan keberadaan nilai-nilai tradisonal
harus terpelihara bukan saja hanya sekedar pengakuan
tetapi juga bagaimana perananya dan
hak-haknya sebagai bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena
nilai-nilai itu hidup didalam masyarakat, sayangnya produk hukum selanjutnya
tidak berpihak kepada rakyat, menapikan tatanan itu dan men-genaralisir
kebhinikaan itu dalam keseragaman sebagai alasan alat kekuasaan untuk melakukan
pembenaran. ( Pemimpin yang diharapkan adalah pemimpin yang dapat meng-aransir
kebhinikaan itu dalam keharmonisan ).
Kemelut sengketa lahan Regester 45 sungai buaya Mesuji
yang berlarut-larut merupakan salah satu
contoh kasus, untuk tidak mengakui keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana
yang diamanatkan oleh Konstitusi. Keberadaan Lembaga Adat Megou Pak Tulang
Bawang ( Tulang Bawang adalah wilayah hukum
adat dalam literature ) yang meliputi Marga Tegamo’an,Marga Buai Bolan
(ilir dan udik ),Marga Sway Umpu ( Sway umpu Megou Pak / Marga Mesuji ) dan
Marga Aji, disengketa lahan tersebut didiskriditkan dengan segala opini dan diserang
dari segala arah.merupakan bukti bahwa penghargaan terhadap masyarakat Hukum Adat
hanya lipstick dan perlu diperjuangkan agar mendapat tempat yang layak
dibuminya sendiri. Fakta yang ada bahwa hak-hak Masyarakat Hukum Adat sangat
memperihatinkan dan termarginal. berapa banyak kampung-kampung tua dibiarkan
begitu saja dengan alasan yang tidak masuk akal bahkan terisolir dari
pembangunan,berapa luas tanah yang telah disumbangkan kepada Negara ini, sementara
hak-haknya terabaikan dan terpinggirkan.
Apakah
Masyarakat Hukum Adat akan menjadi masyarakat yang terpencil dan terkucil
dibuminya sendiiri ????.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar